Sabtu, 23 April 2011

Kisah api neraka sebesar biji sawi dicuci sebanyak 70 Kali

Disebutkan dalam sebuah hadith bahawa Allah S.W.T telah mengutus Malaikat Jibrail A.S menemui Malaikat Malik A.S yang ditugaskan untuk menjaga api neraka, dengan tujuan supaya Malaikat Jibrail A.S membawa api untuk kegunaan masak-memasak bagi Nabi Adam A.S.

Berkata Malaikat Jibril A.S: "Wahai Malik, aku telah diutuskan oleh Allah S.W.T supaya mengambil api neraka untuk kegunaan Nabi Adam." Malaikat Malik A.S berkata: "Wahai Jibrail, berapa banyakkah yang kamu mahu?" Berkata Jibrail A.S: "Sebiji buah kurma." Lalu Malaikat Malik A.S berkata: "Tahukah kamu wahai Jibrail, kalau aku berikan kepada kamu api neraka sebesar buah kurma, maka akan hancur leburlah tujuh petala langit dan bumi disebabkan kepanasannya."

Kemudian Malaikat Jibrail A.S berkata: "Kalau begitu berilah aku api neraka tersebut separuh dari biji kurma." Lalu berkata Malaikat Malik A.S: "Kalau aku berikan kepadamu api neraka ini seperti yang kamu minta, ketahuilah bahawa langit tidak dapat menurunkan hujan walaupun setitik air ke bumi, dan ini akan menyebabkan tidak akan tumbuh sebarang tanaman."

Mendengar penjelasan dari Malaikat Malik A.S, maka Malaikat Jibril A.S pun berdoa kepada Allah S.W.T untuk memohon bantuan. Berkata Malaikat Jibrail A.S: "Ya Allah, beritahulah kepadaku sebanyak manakah yang harus aku ambil api neraka ini."

Lalu Allah S.W.T berfirman yang bermaksud: "Ambillah api itu sebesar biji sawi." Setelah mendapat arahan dari Allah S.W.T, maka Malaikat Jibrail A.S pun mengambil api tersebut dan lalu membasuhnya di 70 buah sungai di Syurga dan kemudian Malaikat Jibril A.S mendapatkan Nabi Adam A.S dan meletakkan api tersebut di gunung yang tinggi. 

Sebaik sahaja Malaikat Jibril A.S meletakkan api tersebut di atas gunung maka larutlah gunung itu dan api kembali ke tempatnya dan tinggal asapnya di batu sehingga sekarang. 

Haruslah ingat bahawa api neraka itu sangat-sangat panas. Ianya dijadikan oleh Allah S.W.T terhadp orang-orang yang engkar perintah-Nya, cubalah kita bayangkan kalaulah setitik api neraka yang tidak dicuci itu jatuh ke bumi ia akan menembusi tujuh petala langit dan bumi, dan bagaimanakah kita kalau Allah S.W.T mengazabkan kita dengan api neraka-Nya. Oleh itu hendaklah kita bertawadhu dan merendah diri kepada Allah S.W.T.

Setiap amal yang kita buat, kita akan mendapat ganjaran dari Allah S.W.T dan Allah S.W.T tidak mendapat apa-apa dari apa yang kita buat, dan dia tidak rugi walau sesen pun kalau kita tidak mahu ikut perintah-Nya, yang rugi adalah diri kita sendiri. Setiap sesuatu yang kita buat akan diadili di mahkamah Akhirat. Setiap yang kita buat akan diulang tayang kembali. Dan kita tidak dapat memberi apa-apa alasan, kita tidak dapat berkata bohong, berdusta,
merasuah dan sebagainya.

8 ulasan:

  1. Tanggapan terkait.....http://www.lampuislam.org/2014/03/ken...

    Penggunaan kata ganti "kami" dalam pidato seperti contoh anda berikan adalah penggunaan bahasa Indonesia yang salah apabila sang pembicara berbicara atas nama dirinya...,
    Coba anda simak ketika presiden Jokowi dalam setiap sambutannya, beliau tidak pernah menyebut kata ganti "kami" jika ia berbicara sebagai presiden RI. Selalu beliau menggunakan kata "Saya" atau "Aku"..inilah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

    Dilain pihak, jika sang pembicara menyampaikan pidato atau sambutan atas nama suatu kelompok (yang jamak terdiri dari dirinya dan orang lain), maka secara pasti ia akan menggunakan kata ganti "kami".

    Jadi contoh yang diberikan dalam tulisan anda adalah penggunaan bahasa Indonesia yang sangat salah dan tidak baku...!!!, mungkin dalam bahasa Arab yang penuh dengan kekacauan sistem bahasa membuat persamaan antara kata ganti "aku" dan "kami"...

    Sehingga saya sarankan, sebaiknya terjemahan kitab-kitab buatan Muhammad bin Abdullah harus diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan..dengan kepastian mana kata yang bermakna tunggal dan mana kata yang bermankna jamak.

    Jika anda menyatakan bahwa kata ganti "kami" adalah suatu kata "plural majestic" yang dipersamakan dengan kata "Kita" dalam ALKITAB....inipun anda secara pasti salah besar.

    Kata "kami" sangat berbeda dari "Kita". ALKITAB menunjukkan penggunaan kata "Kita" dalam kitab Kejadian dengan sangat tepat baik arti dan maknanya......mengapa dalam kitab Kejadian tidak menggunakan kata "kami" seperti al-quran???

    Tentunya ALKITAB sangat sempurna untuk menyatakan sesuatu yang obyektif. Penggunaan kata "Kita" mengandung nuansa obyektif dan terbuka...sedangkan kata "kami" dalam al-quran lebih bernuansa konotasi yang subyektif dan tertutup..jika kita melihat kedua perbedaan yang sangat signifikan...

    Jadi...jangan selalu membuat implikasi yang sangat jauh berbeda nuansanya...diantara kata ganti "kami" dan "Kita"...

    Selalu saya katakan bahwa ALKITAB sangatlah ilmiah baik dari sisi proses penyusunannya maupun sistem dan tata tulisnya, sangat sempurna untuk menjelaskan makna setiap kata dan kalimat didalamnya, dan ALKITAB sangat jauh berbeda dari al-quran seperti tingginya langit dari bumi...!!!

    Jangan anda samakan pemahaman ilmiah dengan pemahaman bangsa Arab, khususnya para pengikut Muhammad bin Abdullah yang telah terbiasa dengan sistem dan tata bahasa yang semrawut dalam mempelajari kitab buatan Muhammad bin Abdullah...

    berlanjut ke 2

    BalasPadam
  2. Saya sarankan..agar terjemahan al-quran ke bahasa Indonesia harus direvisi sesuai ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan...jangan mempertahankan tata bahasa Arab yang merusak sistem dan tata bahasa bahasa Indonesia...!!!
    Selanjutnya, terkait pendapat Sdr.Khalid Yong yang menyatakan bahwa : ..... "kami" merujuk kpd "hukum" atau "law of universe" dimana semua makhluk ada "consciousness" iaitu sntiasa brtindak-balas antara sesama makhluk (causality) ke arah "penambah-baikan" utk mncapai 0 entropi (equilubrium) tahap highest effecientcy.
    Memang LAMPUISLAM.org pasti kebingungan atas pendapat tersebut, karena Sdr.Khalid Yong menjelaskan fenomena yang terjadi ketika kata "kami" selalu digunakan pada berbagai wahyu atau firman yang diberikan kepada Muhammad bin Abdullah beserta pengikut-pengikutnya.
    Nah..saya berpendapat bahwa kata "kami" bukanlah suatu konsep "plural majestic" seperti yang diargumentasikan dengan mengimplikasikan terhadap isi kitab Kejadian yang sangat jauh berbeda.
    Tetapi kata ganti "kami" dalam al-quran adalah suatu konsep ke"allah"an jamak atau "allah" yang bersifat kolektif..dimana setiap wahyu, firman dan sabda diberikan berdasarkan HASIL RUMUSAN BERSAMA antara "tuhan", "jibril" beserta para malikat lainnya dan Muhammad bin Abdullah, dimana ketiga pihak ini memiliki kewenangan untuk memberikan perintah dan aturan kepada para pengikutnya termasuk memberikan penjelasan tentang perbedaan kelompoknya dengan kelompok agama lainnya yang mereka sebut "kafir" atau "orang-orang tidak berilmu".
    Diantara ketiga pihak tersebut, baik "tuhan", "para malaikat" dan Muhammad bin Abdullah, menampatkan posisi "tuhan" sebagai pemberi hukum, dialah ketua dalam kolektivitas ke'allah"an tersebut. "tuhan" dalam rumpun kolektif itu sebagai penanggungjawab utama dalam segala yang dilakukan oleh "jibril" atau malaikat-malaikatnya dan Muhammad bin Abdullah dalam memberikan perintah, aturan dan ancaman kepada manusia.
    Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam kisah dimana "tuhan" memerintahkan "jibril" mengambil api neraka untuk dibawa ke bumi :
    Pada suatu ketika “tuhan” yang saya maksudkan yang dikenal dengan sebutan “Allah subhanahu wa ta’ala” dalam hadits-hadits buatan Muhammad bin Abdullah memerintahkan malaikat Jibril untuk meminta kepada malaikat Malik sebagian dari api neraka, dan memberikannya kepada Nabi Adam. Guna dari api ini adalah sebagai bekal kepada Nabi Adam selama di dunia untuk digunakan memasak makanan serta kebutuhan lainnya. (yang berarti nabi adam akan menggunakan api yang berasal dari neraka untuk memenuhi kebutuhannya).

    Berlanjut ke 3 .........

    BalasPadam
  3. Malaikat Malik bertanya kepada malaikat Jibril, “Berapa yang kamu butuhkan untuk keperluan Adam itu?” “Sebesar buah kurma”, jawab Jibril. Mendengar jawaban Jibril, maka Malik menjelaskan, “Jika aku memberi api neraka sebesar buah kurma, maka langit dan bumi akan menjadi cair disebabkan pengaruh panas dari api tersebut.” Mengetahui betapa panasnya api sebesar itu, maka Jibril meminta separuh saja dari buah kurma tersebut.
    Namun kembali Malik mengemukakan, “Jika aku luluskan permintaanmu, maka tidak setetes pun air hujan yang akan turun dari langit. Demikian pula bumi tidak akan mampu lagi untuk menghidupkan tumbuh-tumbuhan, sebatang pohon sekalipun.”
    Kemudian Jibril menghadap “tuhan” yang saya maksudkan yang dikenal dengan sebutan “Allah subhanahu wa ta’ala” dalam hadits-hadits buatan Muhammad bin Abdullah, dan bertanya sebesar apakah api yang pantas untuk diturunkan ke dunia. Maka “tuhan” kemudian berfirman, “Ambillah sebesar semut.”
    Kemudian Jibril kembali lagi ke malaikat Malik meminta api neraka sebesar semut untuk diberikan kepada Nabi Adam. Kendati hanya sebesar semut, namun sebelum api yang diambil dari neraka ini diberikan kepada Adam untuk keperluan selama di dunia, maka terlebih dahulu api ini dimasukkan ke dalam laut sebanyak tujuh puluh kali.
    Belum cukup dengan hanya itu, kemudian api itu diletakkan di atas gunung yang tinggi. Pengaruh dari api tersebut menyebabkan gunung itu hancur. Dengan demikian, maka api yang kini ada dan kita nikmati bersama selama di dunia adalah api yang sebesar semut kecilnya dari lautan api yang tersedia di neraka kelak.
    Nah…coba disimak dialog istimewa antara ketiga pihak (termasuk penggunaan kata "aku" dalam dialog malik dan jibril), yakni :
    “tuhan”, malaikat “jibril” dan “malik” dan berita disampaikan dalam bahasa manusia melalui pemikiran Muhammad bin Abdullah..ternyata ditemukan adanya proses tawar-menawar diantara mereka (“tuhan” dan “jibril” dengan “malik” si penjaga neraka), dimana perintah “tuhan” sangatlah tidak sesuai dengan pemahaman “malik”, malaikat “malik”lah yang lebih tahu kondisinya dibandingkan dengan “tuhan” atau “allah subhanahu wa ta’ala”, sehingga “jibril” berkali-kali harus balik ke neraka dan berkonsultasi dengan “malik”, dan diakhiri dengan sebuah kesepakatan yang didasarkan atas pertimbangan “malik”…
    Inilah suatu contoh konsep ke"allah"an jamak atau "allah" yang bersifat kolektif, dimana “tuhan” selaku ketua dalam perumusan kebijakan yang diberikan kepada manusia, termasuk wahyu, firman dan sabda atas dasar berbagai pertimbangan anggota kelompok lainnya dimana Muhammad bin Abdullah hadir dalam sistem kelompok tersebut sebagai juru bicara kepada manusia dalam konsep ke”allah’an kolektif itu.
    Dengan contoh kasus ini dan masih banyak lagi, maka saya menyatakan bahwa sangat keliru jika ISLAM mencaplok konsep “allah” yang esa dalam ajarannya. Dan ini sangatlah logis untuk diterima oleh akal sehat manusia. Karena ada tiga pihak dan anggota kelompok kolektif yang merumuskan berbagai kebijakan bagi manusia atau pengaturan manusia.
    Saya sangat percaya bahwa segala sesuatu yang diberikan oleh “oknum” yang lebih berkuasa dari manusia dan manusia sangat tunduk dan taat kepadanya, dimana manusia sebagai obyek dari pengaturannya.....pastilah sesuatu yang bisa diterima oleh akal sehat manusia. Apalagi jika hal tersebut menyangkut prinsip konsep ketuhanan.

    Berlanjut ke 4

    BalasPadam
  4. Sebenarnya hal ini yang tidak diketahui oleh banyak orang termasuk pengikut Muhammad bin Abdullah sendiri, konsep ke’allah”an kolektif ini terlihat nyata dalam berbagai ayat dalam al quran dan hadits-haditsnya.….
    Dengan fakta kondisi ini dalam kitab-kitab ISLAM, bukankah Muhammad bin Abdullah sendiri telah menjelaskan tentang sistem ketuhanan yang pluralistic, dan apa perbedaannya dengan konsep Zeus dan para dewanya???...
    Dengan demikian paham monotheistic dalam ajaran ISLAM adalah tidak benar dan "omong kosong", karena Muhammad bin Abdullah telah menyatakan sistem ketuhanan yang pluralistic dalam memberikan kebijakan dan ke”allah”an yang bersifat kolektif dalam perumusan kebijakan, wahyu, firman dan sabda bagi umat ISLAM.
    Pemahaman ini perlu diketahui oleh semua orang yang bersikap ilmiah, sehingga seharusnya para pengikut Muhammad bin Abdullah lebih fokus dan “concern” dengan pembenahan kitab-kitab buatan Muhammad bin Abdullah tersebut daripada berusaha untuk mengimplikasikan ajarannya sebagai suatu ajaran monotheistic.
    Nuansa dan roh ajaran ISLAM tidak bisa terlepas dari seluruh isi kitab-kitab buatan Muhammad bin Abdullah. Termasuk konsep awal pembentukkan agama ini, ketika salah satu situs rukun iman --- Ka’abah yang dahulunya sebagai pusat penyembahan berhala kepada Hubal (dewa bulan sabit) beserta ana-anak putrinya : Al-Uzza, Al-lat dan Manat, dan ritual haji yang telah dilakukan sebelum lahirnya ISLAM.
    Kesemua konsep "tuhan" pluralistic dan ke'allah"an kolektif, telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam al-quran dan hadits-hadits penjelasnya..!!!
    Salam hormat.
    CARTERMANGAR.
    Putra dari Ufuk Timur.-

    BalasPadam
    Balasan
    1. Ngomong opo to mas? Kebanyakan tulisan seperti tukang jualan jamu.

      Padam
  5. Betul ke info ni? Al Quran xda ceritakan pn? Jika ada dalam quran surah mana? Jika betul info ini, maksudnya Allah tidak jadikan bumi dalam keadaan sempurna/sesuai untuk makhluknya kerana magma juga secara x langsung menyuburkan tanah untuk tumbuh-tumbuhan dan mineral lain. Bagaimana ia tidak sempurna/sesuai dengan kehidupan dan x mengikut perancangan asal Allah, sedangkan Allah Maha Mengetahui?

    BalasPadam
  6. Ada yg bilang kisah itu palsu...

    BalasPadam